Pagi Savitri di Mutiara II - Bagian Satu

Pagi ini cuaca lagi cerah. Savitri duduk di antara ibu-ibu lainnya. Mereka orang tua murid SD Mutiara II yang sedang menunggu anak-anak mereka sekolah. Pikirannya menari-nari pada bahan-bahan makanan yang belum diolah karena ia merasa enggan untuk beranjak dari tempat duduknya karena sesuatu hal.

Kecelakaan lalu lintas yang beberapa hari lalu menewaskan seorang gadis muda pengendara sepeda motor, membuat Savitri gamang. Biasanya ia hanya mengantar anak-anaknya hingga gerbang sekolah untuk kemudian memacu kendaraannya kembali ke rumah, mengerjakan hobinya, memasak untuk anak-anak dan suaminya. Setelah itu Savitri mencuci pakaian yang sudah direndam sejak pagi tadi. Kegiatan rutin paginya diakhiri dengan mandi. Dalam keadaan segar seperti itu biasanya Savitri dengan semangat membuka notebook kesayangannya, kemudian ia menulis apa saja yang ingin dia tulis, menuangkan apa yang ada dalam benaknya. Lalu pukul 11.30 ia akan segera bergegas menjemput anak-anaknya di sekolah.

Tahun kemarin ketika ia masih bekerja, ia sanggup menempuh perjalanan 15 KM ke tempat kerjanya di luar kota dengan sepeda motor, yang berarti jarak yang ia tempuh pulang pergi setiap harinya adalah 30 KM. Truk besar, bis dan tronton sudah akrab menemani perjalanannya.

Bepergian dengan mengendarai mobil pribadi masih merupakan mimpi baginya. Gajinya hanya 2 juta saja, dan suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil Golongan IIIC yang jujur (jangan bandingkan dengan Gayus Tambunan yang Golongan IIIA, yang memiliki banyak mobil mewah dan pundi-pundi lainnya). Maka bila tidak dibarengi dengan wirausaha, sulit baginya untuk memperoleh mobil pribadi.

Hari ini savitri benar-benar merasa sangat berat untuk beranjak dari tempat duduknya. Savitri memang lemah. Kengeriannya akan kecelakaan yang menimpa gadis muda itu membuatnya benar-benar merasa takut untuk terlalu sering mengendarai sepeda motor, terlebih lagi membonceng kedua anaknya. Alhasil, saat ini ia tengah duduk bermuram diri di antara teman-temannya, ibu-ibu para orang tua murid.

“Tuh tuh tuh lihat si Rena. Ih sok gaya gitu tapi anaknya kumel!” gunjingan Mama Rio bersama teman-temannya membuyarkan lamunan Savitri. Deg! Savitri kaget dan serba salah. Dia tahu bahwa ikut mendengar gunjingan sama saja dosanya dengan bergunjing. Tapi dia merasa enggan untuk beranjak. Rena, obyek gunjingan itu adalah Mama Reza.

Mama Rio dengan jilbab hijau dan kaos ketatnya masih bersemangat menggunjingkan Mama Reza. Mulutnya yang bergincu merah menyala semakin menjadi-jadi mengukir kata. Di kirinya duduk Mama Nero sang Ketua Komite Kelas yang tak kalah bersemangat. Tubuhnya yang subur ikut bergerak karena gerakan tangannya yang ikut mendramatisir gunjingan, membuat timbunan lemaknya ikut bergerak. Demikian pula dengan gelang-gelang emas di tangannya, ikut bersuara. Di sebelah kanannya duduk Mama Nadia yang dituakan di antara mereka. Mama Nadia menjabat sebagai Penasihat Komite Kelas. Pendidikannya cukup tinggi, hingga S2, memiliki pembawaan yang tenang. Namun kendati demikian, fakta-fakta positif itu tak mengurangi kiprahnya dalam pergunjingan di pagi itu. “Si Rena mah emang gitu” singkat saja komentarnya.

Dari ujung deretan, Mama Delta menyumbang suara. “Eh tau nggak si Mama Reza bukan cuma nunggak uang kas 6 bulan aja, tapi uang komputer juga kabarnya dia gak pernah bayar sejak kelas satu!”

“Hahahaha... jual tuh behel!” serempak mereka menertawakan Mama Reza yang dari tadi masih belum selesai bebenah di parkiran motor. Terlihat dia lagi sibuk membuka jaket kulitnya yang keren. Savitri memandang Mama Reza dengan kekaguman akan penampilan Mama Reza secara keseluruhan. Semuanya enak dilihat. Gaya rambutnya, model bajunya, jeansnya, sendalnya, semuanya. Semuanya sesuai selera Savitri. Bila jilbabnya dilepas di rumah, potongan rambut Savitri sama persis dengan potongan rambut Reza. Shaggy... bersambung ke Pagi Savitri di Mutiara II - Bagian Dua

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sketsa Dini Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger