Pagi Savitri di Mutiara II - Bagian Dua

Savitri adalah orang tua baru di antara mereka, karena Al Farisyi, anak Savitri adalah murid baru di sekolah itu. Savitri belum mengenal banyak tentang mereka, terlebih lagi Mama Reza yang jarang ke sekolah. Savitri bertanya-tanya, mengapa Mama Reza bisa menunggak sekian banyak tagihan di sekolah padahal jelas semua yang dikenakannya bukanlah barang murah. Dan konon katanya suami Mama Reza adalah seorang kru kapal pesiar mewah dengan gaji minimal 15 juta rupiah per bulan.

“Awas! Awas! si Rena datang!” bisik Nenek Nando membuyarkan pikiran Savitri. Mama Reza jalan menghampiri mereka dengan tawanya yang ceria.

“Halo semua...!” Rena menyapa mereka dengan tawanya yang lebar.

“Hei... kamana wae atuh...?” hampir serempak ibu-ibu itu menyahut. Savitri hanya senyum saja dan menganggukkan kepala ke arah Rena.

“Hei.. ini Mama Al Farisyi yang murid baru itu ya?” Rena mengulurkan tangan dengan ramah dan ceria.

“Kenalin, Rena.., betah di Bandung?”

“Savitri..., terima kasih, betah atuh, saya kan asli Bandung, cuma 11 tahun ke belakang, saya kerja di Palembang.”

“Oh..” Rena membalas sambil meniup bangku yang akan didudukinya. Kemudian ia asyik menggunakan telepon genggamnya.

Ibu-ibu yang lain terdengar bisik-bisik dan sesaat kemudian mereka asyik berbicara dengan topik lain. Soal anak-anak, suami, biaya bimbel, harga bahan pokok, jadwal pengajian rutin, dan sebagainya. Lalu mereka akan serta merta terdiam manakala ada ibu-ibu lain yang lewat dengan pakaian yang agak sedikit aneh atau tidak pantas bagi penilaian mereka, untuk sejurus kemudian mereka tertawa tercekik, mengikik, kemudian mengakak ketika orang yang lewat tersebut sudah agak jauh dari pandangan. Dan tak dibiarkan lama-lama, kejadian tadi menjadi topik pembicaraan baru yang hangat.

Astaghfirullaah.. beberapa kali Savitri istighfar dan mengutuk dirinya ketika ia dapati dirinya sekuat tenaga menahan nafsunya ikut menertawakan seorang ibu-ibu, orang tua murid kelas dua yang menggunakan legging ketat dengan blouse berbahan kaos sebatas pinggang. Dilihatnya dadanya, perutnya, dan bokongnya seolah berlomba menampilkan lemak-lemak tak beraturan. Padahal kepalanya sudah bagus ditutup jilbab.

Ia menoleh pada Rena. Rena masih asyik dengan telepon genggamnya dan sepertinya tidak tertarik untuk ikut bergunjing. Savitri merasa ada kecocokan antara dirinya dengan Rena. Entah apa faktornya, Savitri tidak tahu.

“Hey hey dengekeun ibu-ibu! tong poho nya isukan pangajian di imah Mamah Hasna! Awas kudu daratang!” (hai-hai dengarkan ibu-ibu! Jangan lupa ya besok pengajian di rumah Mama Hasna! Awas ya harus pada dateng!”) himbauan dalam Bahasa Sunda kasar ini membuyarkan alur pikir Savitri tentang Rena. Himbauan Mama Nero, sang Ketua Komite Kelas sebagai pencetus Pengajian Rutin Ibu-Ibu Kelas 3D itu membawa Savitri pada lamunannya yang lain. Ia teringat Mama Nuri yang lembut tapi tegas, yang menjadi Ketua Komite Kelas di sekolah anaknya sebelum pindah ke SD Mutiara II ini.

“Mamah Al mau ikut pengajian? Aku mah nggak!” tiba-tiba saja Rena mengagetkan Savitri.

“Insya Allah ikut Mah, semoga bermanfaat.”

“Oh.., iya sok aja kalo mau ikut mah, hehe”

Savitri sudah biasa ikut pengajian ibu-ibu, namun entah kenapa untuk pengajian rutin Komite Kelas 3D ini Savitri merasa agak berat. Savitri tidak tahu apa alasannya. Tapi untuk menjaga silaturahim, Savitri tetap akan mengikuti pengajian rutin yang diselenggarakan satu bulan sekali itu.

“Tuh anak-anak udah pada keluar” suara Rena nyaring terdengar.

Waduh, Savitri teringat lagi akan bahan-bahan masakannya yang belum diolah.. mau makan dengan apa anak-anak dan suaminya nanti...?

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sketsa Dini Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger