Pengajian Rutin ( - Pergunjingan Rutin? )

Pengajian Rutin ( - Pergunjingan Rutin? )
Sumber gambar http://bangdonnycuap-cuap.blogspot.com
Akhirnya pengajian rutin yang sudah direncanakan sejak lama terlaksana juga. Akan tetapi pengajian berubah tempat yang semula giliran pertama adalah di rumah Mama Hasna, berubah menjadi di rumah Nenek Nando. Tadi malam Hasna sakit sehingga Mama Hasna tidak bisa menyelenggarakan pengajian di rumahnya.
Pagi ini Savitri sudah duduk di antara ibu-ibu lainnya. Nenek Nando, sang tuan rumah tengah sibuk menata makanan dan minuman di ruang makan. Seperti yang sudah disebutkan Rena, Rena tidak datang, dan memang rencana Rena, ia tidak akan pernah ikut pengajian itu. Tidak semua ibu-ibu orang tua murid kelas 3D ikut pengajian. Hanya ibu-ibu yang sering menunggu di sekolah saja yang ikut pengajian. Savitri menelusur satu –satu, Mama Aliya.., Mama Meli.., Mama Tifa.., Uwa Farhan.., Mbah Farial.., Mama Adli.., Mama Fatima.., Mama Nadia.., Nenek Yogi.., Nenek Salwa.., Mama Rokib, yang walaupun bukan orang tua kelas 3D tapi ikut bergabung dalam kumpulan ibu-ibu kelas 3D.., dan tentu saja duo solid, Mama Rio dan Mama Nero. Mereka berdua sudah asyik berbisik-bisik. Mama Delta yang tak kalah dalam hal hobby “membahas” seseorang, tidak hadir, demikian juga dengan Mama Hasna yang anaknya sedang sakit.

“Baiklah ibu-ibu, assalamu’alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh... dst.. dst..” Mama Nero tiba-tiba saja membuka acara dan mempersilakan Mama Tifa untuk membacakan ayat suci al-quran berikut artinya, dan kemudian mempersilakan Ustadzah Munafikati untuk memulai menyampaikan materi. Sementara itu Mama Rio sibuk menyiapkan sebuah kaleng biskuit kosong dengan lubang di atas tutupnya, yang dibalut kertas kado bermotif bunga. Kaleng itu kemudian diedarkan ke ibu-ibu.

“Oh...kencleng...” bisik Savitri dalam hati.
Kencleng adalah istilah dalam Bahasa Sunda yang berarti kotak amal dalam Bahasa Indonesia.

Materi hari ini adalah ghibah. Savitri menahan sedikit keheranannya. Tidak salahkah hal itu yang dijadikan materi? Yang dia tahu, selama dua hari bersama para ibu-ibu itu, nampaknya ghibah-lah yang menjadi hiburan favorit bagi mereka.

Ustadzah Munafikati memulai tausiahnya dengan kalimat : “Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang karena izinNya saya dapat hadir di sini di tengah kesibukan saya menyusun thesis untuk gelar S2 saya dan di tengah kesibukan saya membina pesantren saya..”

Kemudian ustadzah masuk pada materi yaitu ghibah. Intisarinya, dalam menghadapi bulan suci Ramadhan, di mana setiap manusia yang akan menjalankan ibadah shaum, haruslah bersih hati bersih jiwa, dan apabila di antara kita telah ber-ghibah, menjelek-jelekkan seseorang atau mencela, maka mutlak baginya meminta maaf secara langsung pada orang yang dicela dan mengakui ucapan atau celaannya secara terang-terangan dan memohon maaf padanya. Bila hal itu tidak dilakukan, maka ibadah shaumnya tidak akan diterima. Demikian Ustadzah Munafikati memaparkan.

Savitri termenung, gerangan apakah yang ada di dalam pikiran ibu-ibu itu? Tidak salahkah Mama Nero yang menentukan materi apa saja setiap bulannya dalam pengajian rutin ini, memilih ghibah sebagai materi tausiah? Entahlah.. Savitri menghela nafas dan melanjutkan renungannya.

“Alhamdulillah materi telah disampaikan, semoga hidayah tercurah untuk kita semua, amiin.. selanjutnya acara ramah tamah, silakan ibu-ibu, silakan mencicipi hidangan yang sudah disediakan tuan rumah..” Mama Nero menutup acara utama.
Satu per satu ibu-ibu berdiri untuk mengantri mengambil hidangan. Menunya gado-gado, lontong dan gorengan serta kue-kue basah dan es buah. Savitri ada di antrian terakhir. Hal itu sudah biasa dilakukan Savitri. Entah mengapa, ia merasa nyaman saja selalu menjadi orang terakhir dalam antrian makanan. Ia merasa bebas tidak menghalangi atau menjadi penghambat orang lain.

Dalam separuh waktu acara makan-makan itu, tidak tahu dari mana awal mulanya, suatu pergunjingan tiba-tiba terdengar Savitri yang tengah fokus pada makanan di hadapannya. Sedari tadi memang Savitri mendengar riuh rendah suara ibu-ibu itu di tengah suara kunyahan dan gemerutuk bunyi kerupuk terpatahkan, namun karena asyik dalam perenungannya di tengah kunyahan gado-gado di mulutnya, Savitri tidak mendengar isi pembicaraan yang riuh rendah itu.

Masya Allah...ternyata mereka tengah asyik membicarakan salah seorang orang tua murid kelas 3D juga, Mama Khansa.

“Ya Allah...” pekik Savitri dalam hati. “Bukankah Mama Khansa saat ini tengah sakit yang cukup parah..? Mama Khansa... Ya Allah...” tak terasa air mata Savitri meleleh. Segera ia menyekanya dan sekuat mungkin menata nafasnya yang tercekat dan bergemuruh karena tertahannya air mata yang seharusnya akan deras mengalir andai saja ia tengah berada sendiri di rumahnya saat itu.

Hanya sekali saja Savitri bertemu dengan Mama Khansa, yaitu dulu, saat ia masih kerja dan hanya sekali menjemput Al Farisyi dan Saistha di sekolah. Setelah itu ia tak pernah bertemu lagi karena ia sibuk bekerja, dan setelah Savitri tidak bekerja dan selalu menjemput anak-anaknya, Savitri tidak pernah bertemu Mama Khansa lagi karena kabarnya Mama Khansa sakit. Savitri tidak begitu mengenal Mama Khansa, akan tetapi Savitri merasakan keteduhan di raut wajahnya yang putih bersih, tutur katanya yang sangat halus, baik dalam makna katanya maupun dalam volume suaranya. Mama Khansa lebih banyak diam daripada berbicara, namun sedikit pembicaraan yang ia lontarkan, memiliki makna yang dalam dan luas.

Masih terbayang wajah pendiam Mama Khansa. Savitri menarik tissue di hadapannya, mengusap air matanya yang lagi-lagi keluar, dan srrrt..cairan di hidungnya ia keluarkan pelan-pelan. Hidungnya memerah, matanya sedikit sembap.

Didengarnya tadi pergunjingan itu berkata, “Belum sembuh-sembuh tuh!”

Emang umurnya berapa sih?”

“Ih umurnya mah masih 42..”

“Tapi kaya yang udah nenek-nenek ya?” Mama Rokib menyela

“Padahal suaminya umurnya lebih muda lho.. gawat tuh..bisa cari yang lain..” Mama Nadia berseru.

Tak disangka Savitri, Mama Nadia sanggup ikut merendahkan diri terlibat dalam gunjingan itu dengan kalimat seperti itu, biasanya ia hanya terlibat sepatah dua patah kata saja.

Dan Savitri lebih tertegun lagi ketika Ustadzah Munafikati ikut larut dalam pergunjingan itu...

“Oh ya? Seru Ustadzah. “Anaknya berapa?” Dan seterusnya.. dan seterusnya..

Dan seterusnya.. dan seterusnya.. Riuh rendah.. kunyahan-kunyahan..gemerutuk kerupuk.. sendok beradu piring.. jilbab-jilbab beraneka warna..bibir-bibir bergincu merah..air liur-air liur di sudut-sudut bibir.. semangat Nenek Nando...semangat Mama Rio...semangat Mama Nero...pergunjingan itu makin menghangat... dan semuanya.. dan semuanya.. menghempaskan Savitri dalam kesunyian dan tangisan. Hanya dirinya dan Sang Maha Pendengar, dan istighfarnya, dan tangisannya, silih berganti.

“Alhamdulillah...ibu-ibu..meni wareg...(sungguh kenyang..)” Mama Nero mengelus-elus perut buncitnya membuyarkan kesendirian Savitri.

Hatur nuhun ka Nenek Nando, (terima kasih untuk Nenek Nando,)atas kesediaannya direpotkan oleh kami, demikianlah pengajian rutin bulan ini, untuk bulan depan akan diselenggarakan di rumah Mamah Nadia sekalian acara halal bi halal...” lanjut Mama Nero

“Sekarang mari kita berkeliling dan saling bersalaman sambil membaca shalawat nabi”

Shalatullaah..salamullaah.. dst..” suara ibu-ibu mulai terdengar dalam salaman yang membentuk lingkaran. Selanjutnya mereka pulang satu per satu. Savitri tidak pulang dulu. Dia mencuci piring-piring bekas makan para ibu-ibu. Dia berpikir, seandainya dia berada pada posisi Nenek Nando, tentu saja piring-piring bekas dipakai ibu-ibu itu akan sangat merepotkan. Sambil mengumpulkan piring bekas makanan itu, Savitri melihat Mama Rio tengah bersemangat menghitung uang kencleng berdua dengan Mama Nero. Mama Nadia sedang mengotak atik telepon genggamnya.

Ehhh..atos teu kedah Mamah Al...wios ku abdi” (“Ehhh..udah ga usah Mama Al...biar oleh saya saja”) seru Nenek Nando ketika melihat Savitri mencuci piring-piring itu.

Wios Nenek.. wios.. sok Nenek mah istirahat weh” (tidak apa-apa Nek, Nenek istirahat saja) balas Savitri.

Aeh.. nuhun atuh neng..” (Aduh..terima kasih kalau begitu nak..”) sahut Nenek Nando lagi.
"Sami-sami Nek..."("sama-sama Nek...") Savitri membalas.

Savitri pun melanjutkan cuciannya. Ia larut dalam lamunannya akan kejadian tadi. Terbayang wajah Mama Khansa, matanya kembali berkaca-kaca, namun segera ditahannya.

“Ya Allah... ampuni segala dosa dan kesalahan hamba...” bisiknya dalam hati. Bagaimanapun, ia telah ikut mendengarkan pergunjingan itu. Ghibah... sesuai dengan materi yang baru saja dipaparkan oleh Ustadzah Munafikati.

Ghibah.. dalam Pengajian Rutin... atau dalam....Per – gun - jing - an Ru - tin..???

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sketsa Dini Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger