Yang Pungli Bukan Hanya Preman

Savitri dan Rena sama-sama merasakan ada kecocokan satu sama lain. Cepat saja mereka menjadi sangat akrab. Mereka bercerita tentang diri mereka masing-masing, juga tentang anak-anak mereka. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak menertawakan kekonyolan diri masing-masing, misalnya ketika bercerita tentang kebiasaan Savitri yang mudah mengantuk, atau kebiasaan Rena yang suka menggoda suaminya ketika berdiri khusyu hendak memulai shalat. Pada dasarnya, Savitri dan Rena sama-sama jahil.

Tawa mereka tiba-tiba terhenti ketika ada sehelai amplop terbuka tepat di depan hidung mereka.

“Sumbangan sumbangan... sumbangan seikhlasnya untuk menengok Bu Rita” suara nyaring Mama Rio.

Bu Rita adalah wali kelas 3D. Kabarnya sudah 1 minggu tidak mengajar karena hipertensinya kambuh.

“Ya Allah kebiasaan ini belum hilang juga..” bisik Mama Vera.

“Iya! Kebiasaan!” bisik ibu-ibu yang lainnya.

“Untuk apa uang kas yang kita kumpulkan setiap bulan?” riuh rendah sebagian ibu-ibu bersuara pelan. Mereka takut suara mereka terdengar oleh Mama Nero dan kelompoknya.

“Uang kas tiap bulan harus ngumpuilin, giliran ada yang sakit, masih juga nyebar amplop kosong.” Bisik Mbah Farial dan Mbah Yogi.

Savitri dan Rena bertatapan. Hati mereka berbicara hal yang sama, yang walau tidak dikatakan, mereka mengerti satu sama lain, dan berakhir pada suara “hehe”.

Mereka geli dengan fenomena penyebaran amplop kosong tanpa catatan itu. Geli sekaligus prihatin. Betapa tidak, tidak semua ibu-ibu di kelas 3D ini merupakan keluarga mampu. Faktanya, tidak sedikit dari mereka yang merasa keberatan, sehingga terlontarlah dari mulut mereka kalimat : jadi uang kas itu untuk apa?

Savitri dan Rena sama-sama tidak mau banyak bicara. Mereka memasukkan uang sumbangan itu ke dalam amplop yang tadi disodorkan di depan hidung mereka. Savitri dan Rena sama-sama berkata dalam hati : “Maklumin deh. Turutin aja maunya” dan...sekali lagi.. : “hehe”. Itu saja. Karena memang mereka geli dengan praktik punguntan itu.

Tak berapa lama Mama Rio dan Mama Nero menghitung pundi-pundi upeti yang sudah terkumpul dari ibu-ibu tadi. Entah itu terkumpul dari jatah ibu-ibu itu untuk membeli cabe, jatah setengah kilo minyak sayur, jatah uang jajan anak mereka, atau jatah pulsa untuk satu minggu. Entah. Yang pasti, kedua solid itu bersemangat menghitung.

Satu renungan Savitri lagi hari ini, ternyata, yang pungli bukan hanya preman...



Sumber gambar: http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/01/27/161062-mui-sampang-minta-sumbangan-di-jalanan-hukumnya-haram

1 komentar:

informasi berita bola terbaru di sambil-santai.com mengatakan...

hidup penuh dengan cobaan

Posting Komentar

 

Sketsa Dini Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger