Menengok Bu Rita

Pundi-pundi upeti yang telah terkumpul dari ibu-ibu telah selesai dihitung oleh duo solid Mama Rio dan Mama Nero. Tidak ada catatan berapa jumlah uang yang terkumpul itu, karena ibu-ibu memasukkan uang sumbangan itu ke dalam amplop kosong yang diedarkan Mama Rio. Berapa jumlahnya, hanya mereka berdua yang tahu. Demikian juga setiap akan menengok siswa yang sakit atau menengok orang tua murid yang melahirkan, edaran amplop kosong itu selalu bergentayangan minta diisi. Dan pada saat akhir tahun, ketika ibu-ibu menerima surat edaran berupa Laporan Pertanggung jawaban Uang Kas, maka sebagian besar uang kas digunakan untuk keperluan tengok menengok tadi. Dan jumlah dana yang dikeluarkan untuk orang yang ditengok adalah tidak lebih dari Rp. 50.000,- saja. Dan memang senilai itulah bingkisan yang diterima oleh orang yang ditengok. Maka yang terjadi adalah pertanyaan dari para sebagian besar orang tua murid ketika mereka dipungut sumbangan ketika mereka sedang menunggu anak-anak mereka adalah : “ari uang kas keur naon????? (kalau uang kas untuk apa?????)

Mama Nero Sang Ketua Komite segera memerintahkan pembantu setianya, Mama Rio untuk membeli bingkisan untuk dibawa menengok Bu Rita. Mama Rio segera menjalankan perintah seraya melambai-lambaikan tangannya kepada ibu-ibu yang sebagian besar masih merengut karena uang yang mereka irit-irit terpaksa harus dikeluarkan untuk pungutan itu.

“Ngke nya ibu-ibu...abi ka ciliwung heula...rek balanja keur Bu Rita.” (”Nanti ya ibu-ibu..saya ke ciliwung dulu..mau belanja untuk Bu Rita.”) Mama Rio dengan tawa lebarnya melambaikan tangan, pergi menuju mini market di belakang sekolah. Sebagian besar ibu-ibu hanya tertawa mesem saja.

“Ibu-ibu tong kabeh nya nu indit ka imah Bu Rita. Perwakilan weh, urang, Mamah Rio, Mamah Nadia, Mamah Meli, Mamah Tifa, jeung Mamah Al Farisyi!” (“Ibu-ibu jangan semua ya yang pergi ke rumah Bu Rita. Perwakilan saja, saya, Mama Rio, Mama Nadia, Mama Meli, Mama Tifa, dan Mama Al Farisyi!”) Mama Nero berteriak dengan Bahasa Sunda kasarnya yang khas.

“Tuh Mamah Al kamu disuruh ikut ke rumah Bu Rita” seru Rena.

“Iya Ren kalo gitu aku pergi dulu ya. Titip anak-anak kalo mereka dateng pas jam istirahat nanti, kalo-kalo aja mereka nyari aku” balas Savitri.

“Awas Mah Al tong kabawa ku sakaba-kaba!” teriak salah satu ibu.

“Hahahaha..!” sebagian ibu-ibu tergelak, begitu juga Rena dan Savitri.

Tong kabawa ku sakaba-kaba adalah istilah lucu dalam Bahasa Sunda yang berarti jangan terbawa gila, jangan terbawa ikut-ikutan melakukan tindakan yang salah.

Rumah Bu Rita cukup jauh juga dari sekolah. Tiba di rumah Bu Rita, beliau sedang tidur. Savitri hampir saja berkata “jangan dibangunkan, kasian..” tapi mulutnya terkunci, urung berkata-kata karena tercegah oleh seruan Mama Nero yang meminta suami Bu Rita untuk membangunkan Bu Rita.

“Assalamu’alaikum..” satu persatu mereka memasuki ruang tamu. Mama Tifa yang masuk duluan, sementara Mama Nero masih berusaha melepaskan sandalnya dari kakinya yang gemuk. Alhasil dia menjadi orang yang paling akhir masuk.

Ketika mereka dipersilakan masuk ke kamar Bu Rita, dengan gerakan cepat Mama Nero menyenggol ibu-ibu lainnya, berusaha menerobos masuk untuk menjadi yang terdepan yang akan bersalaman dengan Bu Rita. Savitri dan Mama Meli tersungkur jatuh tertabrak timbunan lemak Mama Nero.

“Ibuuu...kumaha ayeuna...?” (Ibuuu..bagaimana keadaannya sekarang..?”) Suara Mama Nero manis menyapa Bu Rita sambil bersalaman dan cium pipi kanan pipi kiri.

“Alhamdulillah tos sakinten..” (Alhamdulillah sudah lebih baik..”) Jawab Bu Rita sambil menyalami ibu-ibu yang lainnya.

Setengah jam mereka berbincang-bincang, dan tak lama kemudian Bu Rita menyuruh ibu-ibu itu untuk mencicipi kue-kue yang tersedia di toples di ruang tamu. Nampaknya Bu Rita selalu menyediakan camilan khusus untuk tamu di ruang tamunya.

Sedikit malu-malu satu per satu mereka keluar kamar menuju ruang tamu. Savitri ikut keluar kamar karena merasa canggung hanya berdua dengan Bu Rita.

Dilihatnya ibu-ibu tengah asyik mengunyah sambil berbisik-bisik dan terkadang serpihan makanan tersembur keluar dari mulut mereka. Savitri terdiam sendiri. Keningnya berkerut tanda ia berpikir keras. Entah marah atau geram. Ia hanya berucap dalam hati “Ya Allah...” sebab yang ia tahu, adalah haram hukumnya bagi seorang muslim makan/ minum ketika ia sedang menengok orang sakit atau melayat orang yang meninggal.

Savitri larut dalam lamunan-lamunannya, dalam keprihatinannya. Ia hanya berdoa semoga Bu Rita segera diberi kesembuhan, “amiin..” ucapnya lirih ditengah riuh rendah suara ibu-ibu dan suara kunyahan mulut-mulut mereka. Di tengah kesibukan mereka mencari plastik untuk menggondol beberapa macam makanan yang ada di setiap toples.

“Bu Rita...bekel nya...” (Bu Rita..minta bawa pulang ya...)” teriak mereka.

“Sok sok mangga, candak weh..” (“Iya, iya silakan ambil aja..”) seru Bu Rita lemah.

Setelah tas-tas mereka terisi makanan itu, mereka pamit dan menyalami Bu Rita satu per satu dan riuh rendah mereka bersalaman dan pamit pada suami Bu Rita.

Savitri masih larut dalam renungannya, sambil mengeluarkan sepeda motornya. Hingga sampai kembali di sekolah, tak satu kata pun terucap dari mulutnya. Savitri merindukan suami dan anak-anaknya, ia ingin segera pulang.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sketsa Dini Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger